Rabu, 30 Desember 2015

Ulah Santri


Guru yang akan mengajar pada waktu itu tidak bisa hadir karna halangan tertentu. Setidaknya itu yang kami ketahui. “eh, didepan ada guru piket gak?” bisik teman sebangku. “gak tau, tadi mah sih gak ada” ya, memang sedang tidak ada. Biasanya guru piket selalu siap didepan kelas kami yang kebetulan bersebelahan dengan kantor guru. Untuk memastikan tidak ada santri yang keluar kelas tanpa alasan yang jelas. Beberapa teman mulai melongokkan kepalanya kejedela untuk memastikan. “iya, bener ukh, gak ada.” Satu persatu teman-temanku mulai meninggalkan kelas. Matahari memang sangat panas dan jam pelajaran siang seperti ini cocok untuk sekedar merebah di asrama. Aku memilih tetap di kelas, membaca beberapa lembar buku atau sekedar membuat coretan-coretan gambar. Alasan kuatnya mengapa aku tidak mengikuti teman-teman yang lainnya, karna takut kepergok melanggar. Ya, masuk asrama ketika kegiatan belajar mengajar memang tidak boleh (kecualni ada kepentingan yang mendesak). 

Aku tidak sendirian dikelas ada 2 teman yang lainnya. Ketika kami sedang larut dalam kegiatan masing-masing, guru piket datang. Melihat hampir semua santri tidak ada dikelas, mimik mukanya menjadi dingin. “Pada kemana yang lain?” suaranya tidak terlalu keras, namun kami tahu, beliau marah. “gak tahu, ustadzah.” Ucap salah satu temanku dengan nada gugup. “KEMANA YANG LAIN, BUKANNYA KALIAN BELAJAR.!  KEMANA, HAH?? KEMANA?”. Suaranya lebih tinggi dari yang tadi. Matanya menatap kami satu persatu, namun kami hanya tertunduk diam. Rasanya tak sanggup mengatakan bahwa teman yang lainnya pergi ke asrama, karna pasti mereka akan dihukm dan kami benar-benar tidak tegak melihatnya. Karna melihat kami tetap diam beliau pergi menuju asrama.

“ukh, hahahaha,,,,,” tiba-tiba datang salah satu teman dari asrama, dengan rasa takut tapi juga merasa lucu dengan apa yang dilakukannya. “eh, ente kenapa?” “ada ustadzah ya, keasrama?” “gimana ceritanya?” kami menghujaninya dengan pertanyaan yang juga diiringi tawa membayangkan mereka lari terbirit-birit dengan memakai kerudung yang kurang rapih atau bersembunyi di baik pintu agar selamat dari kepergok :D 

“tadi ada ustadzah dateng ke asrama kita. Ngetuk pintu, kita kira, kalian yang ngetuk pintu. Soalnya di asrama yang gak ada itu cuma kalian”
“terus-terus, gimana?” timpalku.
“ustadzah langsung masuk, emang gak kita kunci kamarnya. Udah gitu, karna ngedenger pintu dibuka,  ada yang teriak ‘aqfil al baab..!’ soalnya takut gak ditutup lagi pintunya. Pas kita liat ternyata ustadzah yang masuk. Hahahahaha.” Kamipun tertawa mendengarnya.
Tidak lama setelah itu. Teman-temanku mendapatkan hukuman. Semua berbaris didepan masjid. Aku dan teman-teman yang tidak meninggalkan kelas merasa aman, namun....

“kalian juga dijemur”. Ustadzah mendatangi kelas. Kami hanya bisa saling berpandangan tak percaya, apa salah kita ustadzah? Tapi tetap menurut dengan kaki yang ragu melangkah. Ok, satu kelas dijemur. Padahal kan aku tidak melakukan kesalahan. Hemmm, baiklah aku harus kompak, ya, kita harus kompak teman-teman. seperti itulah batinku. :D
Matahari memang sedang berpihak dengan ustadzah yang menghukum kami, panas. Keringat mulai bercucur. 

“kalian tahu, apa kesalahan kalian?” ucapannya masih dingin, tapi tak mampu mendinginkan kami yang kepanasan. Kami hanya diam. beliaupun menjelaskan kembali aturan yang berlaku dan apa yang harus kami lakukan sebagai kakak bagi adik kelasnya. Yaitu memberikan contoh yang baik.
“kalian yang tadi di kelas, kalian tahu, apa kesalahan kalian? Kalian tidak mengingatkan yang lainnya untuk tidak masuk ke asrama, dan kalian menutupi kalau teman kalian berbuat salah.”

ya, ketika teman berbuat salah seharusnya memang kita mengingatkan. Tidak hanya ingin merasa aman sendiri dari berbuat kesalahan. Karna tanpa di sadari, sebenarnya justru kita juga sedang berbuat salah ketika tidak mengingatkan yang berbuat salah. 


Catatan Cinta di Jalan Dakwah





Jalan ini sudah kupilih.. Aku harus menempuhnya.. Meski tajam kerikil menyapa disetiap langkah. Semoga Allah Ridha padaku. Bismillah..


Mahasiswa tingkat satu biasanya masa-masa pencarian. Entah itu jati diri, organisasi, kosan, temen, pokoknya masa-masa pencarian. Ikut ke sana ikut ke sini. Ada kenalan yang ngajak kumpulan, ikut. Parahnya ketika ditanya “emang kumpulan apa?”. Jawabnya “aku juga gak tau, ni diajak temen, ayo lahh ikut aja. Kan lumayan banyak kenalan, banyak temen”.  Apa aku tetap ikut? Ya, aku tetap ikut. Ada teman yang ngajak ke acara diskusi atau seminar, juga ikut. 

Setelah beranjak ke semester dua, lalu tiga, teman-teman sekelas mulai mengikuti organisasi atau Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di kampus. Entah itu organisasi keislaman, olah raga, seni, atau himpunan mahasiswa jurusan, himpunan mahasiswa daerah dan himpunan-himpunan lainnya. Akupun mengikuti salah satu LDK (lembaga dakwah kampus). Organisasi yang memang focus terhadap isu-isu politik, dan memandangnya dari kacamata islam, begitu juga solusi yang diajukan, solusi islam. Tugasnya memang tidak lain untuk berdawah. Menyadarkan mahasiswa agar tidak apolitis, karna islam juga berpolitik dan itu dicontohkan oleh Rasulullah. Peduli politik, peduli kaum muslim. 

Pernah aku membaca buku, yang kurang lebih isinya bahwa dakwah adalah cinta, dan cinta akan menuntut pengorbanan. Ya, memang betul, karna dakwah adalah cinta, maka ia akan menuntut pengorbanan. Pengorbanan harta, waktu, tenaga, bahkan jiwa. Intinya akan menuntut apapun dari kita.

Semua itu terbukti. Pertamakali aku dilibatkan menjadi panitia acara, sempat merasa kaget, mengapa? Karna semasa di SMA setiap kali aku terlibat dalam kepanitiaan, aku selalu ditunjuk sebagai bidang dekorasi. Mungkin karna teman-teman melihat hobiku, seni. Namun ketika di LDK ini, kepanitiaan yang aku dapatkan berbeda-beda setiap acara yang akan diadakan. Kadang, aku menjadi bidang konsumsi, publikasi, dekorasi, logistic, acara atau bahkan OC. Tapi banyak hikmah yang bisa diambil, kita bisa merasakan tiap bidangnya, dan ketika itulah kreatifitas dan pengalaman berharga hadir. Dari dulu memang aku belum pernah membuat publikasi acara, atau sekedar membuat flash untuk ditampilkan. Tapi karna dakwah menuntut. Akupun mempelajarinya. Meskipun masih jauh dari kesempurnaan (karna kesempurnaan hanya milik Allah ).

Disaat hari sabtu adalah hari libur kuliah, aku harus datang pagi-pagi ke kampus untuk mempersiapkan acara yang akan digelar oleh organisasi yang aku ikuti. Belum lagi ada rapat setiap minggu 3 kali (untuk mengontrol sejauh mana dakwah dan amanah yang dijalankan). “Tapi, meskipun dakwah menuntut apapun dari kita, jangan sampai kewajiban yang lain kita lalaikan. Mencari ilmu, berbakti kepada orang tua, mengerjakan tugas-tugas kuliah dengan baik, itu semua kewajiban yang mesti kita penuhi”. Inilah yang sering aku dengar. 

“Jangan pernah membayangkan bahwa kesenangan yang akan didapatkan ketika berdakwah. Akan banyak rintangan. Baik dari luar maupun dari diri kita sendiri. dalam dakwah butuh pengorbanan.”

Tak  bisa dipungkiri kadang merasa capek, panat hingga putus asapun menyapa. Namun, aku merasa malu, malu kepada Allah, malu pada diriku sendiri yang sudah berkomitmen untuk berada dijalan dakwah ini. apakah aku sudah benar-benar mengupayakan seluruh kemampuanku dijalan dakwah ini sehingga aku merasa lelah? Apakah aku sudah benar-benar berkorban untuk “cinta” ini, untuk memenangkan agama islam? Apakah aku sudah benar-benar…………..? Ah, rasanya belum. Masih ada amanah-amanah yang belum aku emban dengan baik, masih banyak orang-orang yang belum aku ajak untuk berjuang bersama. Masih banyak waktu yang kupergunakan bukan untuk dakwah, masih banyak……. Ya, masih banyak. 

Aku bersyukur, dijalan “cinta” ini, aku menemukan cinta. Cinta dari sahabat-sahabat, yang selalu mengingatkan ketika salah, dan memapah ketika jatuh. Uhibbukunna fiillah J. Memang setiap orang berbeda karakter,itu unik dan membuatku belajar mengenali mereka sebagai jalan untuk memahami orang-orang yang aku temui.  Tapi meskipun begitu, ada satu ikatan yang mengikat kuat kami semua, ikatan aqidah.  
Semoga lelah ini menjadi saksi di akhirat nanti, agar aku dapat digolongkan orang-orang yang menolong agamaNya, sehingga surge tak dapat menolak untuk aku masuk kedalamnya. Aamiin. 

#salamperjuangan

Catatan cinta ini kutulis agar menjadi cerminan bagiku untuk tahun-tahun yang akan datang

Senin, 14 Desember 2015

Tamparan



                       
Sore ini, aku mendapatkan tamparan yang membuatku sadar. Bagiku, itu adalah tamparan keras, memang, hanya ‘tamparanlah’ yang akan membuat kita sadar dari apa yang kita pikirkan, bukan dengan nasehat atau kata-kata bijak. 

“kamu mau masuk kelas?” Tanya temanku ketika kaki ini mulai melangkah keluar. Sepertinya ia agak kecewa jika aku masuk kelas sore ini. Karna beberapa menit yang lalu, kami memang sepakat tidak akan masuk kelas :P

“enggak” jawabku

“eh, tapi gak apa-apa ketang  kalo mau masuk juga, nanti tolong ambilin soal UAS di Pak Faris yaa..”

“enggak, gak akan masuk” ucapku meyakinkan. Memang, sore ini dosen belum tentu masuk. “udah muak dengan kelas”, lanjutku lagi.

Temanku itu masih ada dibalik pintu dengan hanya melongokan kepalanya saja keluar. “Subhanallah, selamat..!!” serunya sambil tertawa kecil penuh arti.

Selamat?! Pikirku. “selamat? Kenapa selamat?” 

“iya, selamat, anda tidak mau menjadi pembelajar seumur hidup”

PLAK..!! itulah yang kusebut tamparan. “astaghfirullah” ucapku tak henti sampai ketika aku menulis tulisan ini. 

Akhir-akhir ini memang aku kehilangan semangat untuk masuk kelas, karna hawa nafsuku sendiri. Maka sudah 2 hari aku tidak masuk kelas. Aku sendiri tahu, menuntut ilmu itu wajib. 

anda tidak mau menjadi pembelajar seumur hidu. Ya, jika aku sudah muak dengan kelas, maka aku sudah tidak mau menjadi pembelajar seumur hidup. Aku tersadar dengan kata-kata yang dilontarkan oleh temanku itu, dan aku bersyukur Allah telah mengngatkanku lewat ucapan temanku sendiri. 

Memang, belajar bisa dilakukan dimanapun, tidak harus di ruang kelas dan ditemani dosen atau guru, ilmu juga bisa didapatkan dari mana saja. Bahkan, saat ini hanya tinggal kemauan dan kesungguhan saja dalam mencari ilmu karna kecanggihan teknologi sudah memfasilitasinya. 

Namun, aku juga tidak boleh meninggalkan kelas, terlebih kuliah (baca: menuntut ilmu) bukan hanya sebuah kewajiban, tapi juga amanah dari kedua orang tua. Selain itu, dosen-dosen yang mengajarnyapun dosen-dosen yang luar biasa dari segi keilmuannya.  Maka nikmat apalagi yang aku dustakan?

Akibat tamparan itu jadi ingat mahfudzhat  yang pernah aku dapatkan ketika belajar di Kampung Kemenangan:
مَنْ لَمْ يَذُقْ ذُلَّ التَعَلُّمِ سَاعَةً
تَجَرَّعَ ذُلَّ الجَهْلِ طُوْلَ حَيَاتِه


وَمَنْ فَاتَهُ التَعْلِيْمُ وَقْتَ شَبَابِهِ
فَكَبِّرْ عَلَيْهِ أَرْبَعًا لِوَفَاتِهِ

حَيَاةُ الفَتَى وَاللهِ بِالعِلْمِ وَالتُقَى
إِذَا لَمْ يَكُوْنَا لاَ اعْتِبَارَ لِذَاتِهِ

Barang siapa yang tidak pernah merasakan susahnya belajar
Maka ia akan merasakan susahnya menjadi orang bodoh sepanjang hidupnya.

Barang siapa yang tidak pernah merasakan susahnya belajar hingga ia dewasa,
Maka bertakbirlah empat kali atas kewafatannya.

Sungguh betapa hidup seseorang itu hendaklah dengan ilmu dan taqwa
Dan jika tanpa keduanya maka hidup seseorang itu tiada arti.

Alhamdulillah, aku bersyukur telah ditamparNya lewat perkataan temanku, ya, terima kasih juga teman :)


Senin, 14 Desember 2015