Senin, 24 Juli 2017

Sore Itu

sumber gambar: google

sore itu......

“Aa, itu ada mobil”“A, ada motor”
Adikku dengan sabar memberi aba-aba untuk memutar stir ke kanan, menyeimbangkannya, memperlambat maju atau menginjak rem. Memeng ini pertama kali aku belajar mengendarai roda empat. Sehingga butuh pengarahan yang banyak dan super sabar, terlebih aku termasuk orang yang lambat dalam mempelajari hal-hal yang baru J.

Mobil yang ku kendarai akhirnya bisa berjalan dengan seimbang meski tak lebih dari tiga menit :D. Kali ini kami memasuki perempatan dan tidak ada lampu merah karna ini bukan jalan raya. Desikitnya aku sudah mulai tahu beberapa fungsi dari bagian mobil yang harus dioprasikan ketika mengendarainya, sebelumnya juga si adik sudah memberikan arahan yang berulang kali untuk mengoprasikannya dengan sesekali memberikan contoh. tapi tetap saja, ketika melaju dan melihat ada kendaraan lain terlebih di perempatan itu kekhawatiran dan keraguan menyatu sehingga dengan refleks ujaran itu kembali terulang “A, ada mobil..!”

“atuh teh, ualah A ada mobil, A ada mobil, ku teteh di perhatiken kudu kumaha-kudu kumahana, kan teteh tos terang, berarti tinggal teteh praktek, oh harus injak ini, oh harus kumaha yeuh.....” kurang lebih seperti itu jawabannya. Maksudnya, adikku itu ingin aku tidak bergantung terus-terusan pada intruksinya, tapi aku harus dengan kekreatifan diri sendiri ketika menghadapi situasi-situasi tertentu ketika mengendarai. Menurutku itu jawaban cerdas. Sempat beberapa menit aku terdiam, bukan karna aku tak terima dengan ujaran adikku, justru aku sangat setuju dan mencoba berpikir lebih jauh, bukan hanya tentang saat itu (saat diamana aku belajar mengendarai) tapi mencoba mengaitkan perkataan adik tadi ke aspek yang lain, yang justru lebih besar dari hanya sekedar mengendarai mobil, aspek itu adalah kehidupan.

Dalam hidup sendiri, aku tak jarang bergantung atau mengandalkan orang lain. Padahal hidup tentu perlu mengandalkan diri sendiri karna hidup yang dijalani oleh diri adalah bukan hidup yang dimiliki orang lain, tapi milik diri sendiri. Sehingga kebertahanan dan kekreatifan menjalani hidup adalah tanggungjawab sendiri.  Pernah aku dapat nasehat dari guruku di kampung kemenangan, begini:

“Siapakah yang dapat merubah hidup kalau bukan dirimu sendiri. Dan siapakah yang akan bertanggungjawab atas kehinaanmu dan kemuliaanmu, kalau bukan dirimu sendiri. Dan siapakah yang merasakan kebahagiaan serta kedamaian, kalau bukan dari usahamu... perjuanganmu... serta jerih payahmu sendiri.

Maka dengan demikian berbuatlah! Dan berjuanglah, dan hadapilah cita-cita hidupmu dengan segenap daya dan kemampuanmu. Dan bertakwalah kepada Allah!

Manusia tidak akan hina lantaran dihina orang, dan tidak akan mulia lantaran dipuja orang. Manusia akan hina lantaran amalnya yang hina, dan akan mulia lantaran amalnya yang mulia, FATTAQULLAH!!!”

tulisannya hanya tiga paragraf tapi bagiku tulisan ini menyampaikan pesan lebih dari tiga paragraf.

Hatur nuhun A, bagi teteh sendiri sore itu Aa gak hanya ngajarin Teteh cara ngendarai mobil, tapi lebih dari itu, Aa ngajarin teteh satu hal yang amat berarti pun juga ngingetin teteh untuk akhirnya ingat pada petuah sang guru di kampung kemenangan.  J 


x

Senin, 06 Februari 2017

Twist Ending ‎

sumber gambar: google

Kita akan terkejut dengan twist ending dengan cerita fiksi yang tertuang di fiem-filem, cerpen, novel atau flash fiction. Salah satu judul filem yang pernah saya tonton yang memiliki twist ending adalah now you see me, tentu terdapat ide yang saya tidak setuju dengan apa yang disampaikan di filem tersebut. ok, lagi pula disini saya tidak akan membahas filem itu.

Simpelnya, twist ending adalah akhir atau ending yang tak disangka/tak terduga. Artinya kita akan terkejut ketika mengetahui ending dari sebuah karya fiksi baik bentuk tulisan atau audio visual seperti filem. Sekarang bayangkan jika twist ending terjadi dalam kehidupan nyata. Apa yang akan terjadi? Memang kita akan merasa terkejut berkali-kali. Tapi keterkejutan adalah kata yang masih umum, artinya bisa terkejut karna bahagia/terharu atau sebaliknya, terkejut dan membuat kita merasa gagal, sedih atau kecewa.
Tapi, saya ingat, ayat:
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“maka sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan” (Q.S. Ash-Sharh: 5)

bahkan Allah mengulangnya dua kali dalam surat yang sama, tak hanya sekedar mengulang, tapi juga menegaskan, yang membuktikan “benar-benar”. Ya, dalam bahasa Arab, kata inna adalah  huruf taukid. Maka arti yang sebenarnya adalah “sesungguhnya bersama kesulitan (benar-benar) ada kemudahan. Hmmm, saya memang bukan ahli tafsir, hanya sedikit tahu tentang bahasa arab, jika ada yang salah, mohon teman-teman mengoreksinya ya, hehe J.

Lalu apa hubungannya dengan twist ending? Sebenarnya bentuk twist ending yang seperti apapun, baik yang membuat kita terkejut senang dan bangga atau malah sebaliknya, pada hakikatnya bagi saya sendiri tidak ada bedanya. Karna sekalipun dalam hidup terdapat twist ending yang tak menggenakkan atau terasa lebih sulit, sebenarnya kemudahan dan kegemiraan sedang membersamai twist ending yang tidak mengenakkan tadi. Karna firmanNya “Fa Inna ma’a al ‘usri yusra”. Bukankah itu yang harus diyakini oleh seorang muslim?

Dalam konsep rezeki, twist ending mungkin sudah tidak asing lagi. Ingat firmanNya bahwa rezeki itu min haitsu laa yahtasib?
وَ يَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

“Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.”( Q.S. ath-Thalaaq: 3)

Ya, saya setuju laa yahtasib adalah twist ending, artinya tidak disangka-sangka dan membuat kita terkejut. Memang hanya Allah yang maha pemberi kejutan yang handal, setuju? Kabar baiknya, banyak yang bilang jika ternyata rezeki tidak hanya berbentuk uang. Bahkan kita bisa bernafas sampai detik inipun adalah sebuah rezeki, saya bisa menulis tulisan ini adalah rezeki yang diberikan Allah.

Sepenuhnya saya yakin, bahwa Allah selalu memberikan twist ending yang mengharukan atau menyenangkan hambaNya, tapi terkadang kita tidak menyadari hal itu, ah tidak, bukan kita tapi mungkin saya saja. J

Salam, langit Biru 

Senin, 21 November 2016

Pandanganku


Kubuka jendela kehidupan di pagi hari

Mencoba menyapa jiwa-jiwa yang merangkak, 

berpacu dengan waktu demi mengisi perut yang hanya berisi udara

Berharap garis lengkung bertengger riang dibibir mereka, tanda sulit telah tiada

Lagu kesejahteraan telah lama tak terdengar

Mungkin telah hanyut bersama derasnya banjir di ibu kota

Telah terambil bersama gunungan emas di Papua

Atau mungkin tenggelam bersama ikan di lutan yang berpindah Negara

Ketika matahari merangkak kebarat

Tak hanya suara jangkrik yang meramaikan malam

Namun juga jerit hati yang mengiris sendi-sendi kehidupan

Menahan pekatnya lapar dengan remah sisa kemarin

aku berharap, ini bukanlah Ibu Pertiwi



Rabu, 30 Desember 2015

Ulah Santri


Guru yang akan mengajar pada waktu itu tidak bisa hadir karna halangan tertentu. Setidaknya itu yang kami ketahui. “eh, didepan ada guru piket gak?” bisik teman sebangku. “gak tau, tadi mah sih gak ada” ya, memang sedang tidak ada. Biasanya guru piket selalu siap didepan kelas kami yang kebetulan bersebelahan dengan kantor guru. Untuk memastikan tidak ada santri yang keluar kelas tanpa alasan yang jelas. Beberapa teman mulai melongokkan kepalanya kejedela untuk memastikan. “iya, bener ukh, gak ada.” Satu persatu teman-temanku mulai meninggalkan kelas. Matahari memang sangat panas dan jam pelajaran siang seperti ini cocok untuk sekedar merebah di asrama. Aku memilih tetap di kelas, membaca beberapa lembar buku atau sekedar membuat coretan-coretan gambar. Alasan kuatnya mengapa aku tidak mengikuti teman-teman yang lainnya, karna takut kepergok melanggar. Ya, masuk asrama ketika kegiatan belajar mengajar memang tidak boleh (kecualni ada kepentingan yang mendesak). 

Aku tidak sendirian dikelas ada 2 teman yang lainnya. Ketika kami sedang larut dalam kegiatan masing-masing, guru piket datang. Melihat hampir semua santri tidak ada dikelas, mimik mukanya menjadi dingin. “Pada kemana yang lain?” suaranya tidak terlalu keras, namun kami tahu, beliau marah. “gak tahu, ustadzah.” Ucap salah satu temanku dengan nada gugup. “KEMANA YANG LAIN, BUKANNYA KALIAN BELAJAR.!  KEMANA, HAH?? KEMANA?”. Suaranya lebih tinggi dari yang tadi. Matanya menatap kami satu persatu, namun kami hanya tertunduk diam. Rasanya tak sanggup mengatakan bahwa teman yang lainnya pergi ke asrama, karna pasti mereka akan dihukm dan kami benar-benar tidak tegak melihatnya. Karna melihat kami tetap diam beliau pergi menuju asrama.

“ukh, hahahaha,,,,,” tiba-tiba datang salah satu teman dari asrama, dengan rasa takut tapi juga merasa lucu dengan apa yang dilakukannya. “eh, ente kenapa?” “ada ustadzah ya, keasrama?” “gimana ceritanya?” kami menghujaninya dengan pertanyaan yang juga diiringi tawa membayangkan mereka lari terbirit-birit dengan memakai kerudung yang kurang rapih atau bersembunyi di baik pintu agar selamat dari kepergok :D 

“tadi ada ustadzah dateng ke asrama kita. Ngetuk pintu, kita kira, kalian yang ngetuk pintu. Soalnya di asrama yang gak ada itu cuma kalian”
“terus-terus, gimana?” timpalku.
“ustadzah langsung masuk, emang gak kita kunci kamarnya. Udah gitu, karna ngedenger pintu dibuka,  ada yang teriak ‘aqfil al baab..!’ soalnya takut gak ditutup lagi pintunya. Pas kita liat ternyata ustadzah yang masuk. Hahahahaha.” Kamipun tertawa mendengarnya.
Tidak lama setelah itu. Teman-temanku mendapatkan hukuman. Semua berbaris didepan masjid. Aku dan teman-teman yang tidak meninggalkan kelas merasa aman, namun....

“kalian juga dijemur”. Ustadzah mendatangi kelas. Kami hanya bisa saling berpandangan tak percaya, apa salah kita ustadzah? Tapi tetap menurut dengan kaki yang ragu melangkah. Ok, satu kelas dijemur. Padahal kan aku tidak melakukan kesalahan. Hemmm, baiklah aku harus kompak, ya, kita harus kompak teman-teman. seperti itulah batinku. :D
Matahari memang sedang berpihak dengan ustadzah yang menghukum kami, panas. Keringat mulai bercucur. 

“kalian tahu, apa kesalahan kalian?” ucapannya masih dingin, tapi tak mampu mendinginkan kami yang kepanasan. Kami hanya diam. beliaupun menjelaskan kembali aturan yang berlaku dan apa yang harus kami lakukan sebagai kakak bagi adik kelasnya. Yaitu memberikan contoh yang baik.
“kalian yang tadi di kelas, kalian tahu, apa kesalahan kalian? Kalian tidak mengingatkan yang lainnya untuk tidak masuk ke asrama, dan kalian menutupi kalau teman kalian berbuat salah.”

ya, ketika teman berbuat salah seharusnya memang kita mengingatkan. Tidak hanya ingin merasa aman sendiri dari berbuat kesalahan. Karna tanpa di sadari, sebenarnya justru kita juga sedang berbuat salah ketika tidak mengingatkan yang berbuat salah. 


Catatan Cinta di Jalan Dakwah





Jalan ini sudah kupilih.. Aku harus menempuhnya.. Meski tajam kerikil menyapa disetiap langkah. Semoga Allah Ridha padaku. Bismillah..


Mahasiswa tingkat satu biasanya masa-masa pencarian. Entah itu jati diri, organisasi, kosan, temen, pokoknya masa-masa pencarian. Ikut ke sana ikut ke sini. Ada kenalan yang ngajak kumpulan, ikut. Parahnya ketika ditanya “emang kumpulan apa?”. Jawabnya “aku juga gak tau, ni diajak temen, ayo lahh ikut aja. Kan lumayan banyak kenalan, banyak temen”.  Apa aku tetap ikut? Ya, aku tetap ikut. Ada teman yang ngajak ke acara diskusi atau seminar, juga ikut. 

Setelah beranjak ke semester dua, lalu tiga, teman-teman sekelas mulai mengikuti organisasi atau Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di kampus. Entah itu organisasi keislaman, olah raga, seni, atau himpunan mahasiswa jurusan, himpunan mahasiswa daerah dan himpunan-himpunan lainnya. Akupun mengikuti salah satu LDK (lembaga dakwah kampus). Organisasi yang memang focus terhadap isu-isu politik, dan memandangnya dari kacamata islam, begitu juga solusi yang diajukan, solusi islam. Tugasnya memang tidak lain untuk berdawah. Menyadarkan mahasiswa agar tidak apolitis, karna islam juga berpolitik dan itu dicontohkan oleh Rasulullah. Peduli politik, peduli kaum muslim. 

Pernah aku membaca buku, yang kurang lebih isinya bahwa dakwah adalah cinta, dan cinta akan menuntut pengorbanan. Ya, memang betul, karna dakwah adalah cinta, maka ia akan menuntut pengorbanan. Pengorbanan harta, waktu, tenaga, bahkan jiwa. Intinya akan menuntut apapun dari kita.

Semua itu terbukti. Pertamakali aku dilibatkan menjadi panitia acara, sempat merasa kaget, mengapa? Karna semasa di SMA setiap kali aku terlibat dalam kepanitiaan, aku selalu ditunjuk sebagai bidang dekorasi. Mungkin karna teman-teman melihat hobiku, seni. Namun ketika di LDK ini, kepanitiaan yang aku dapatkan berbeda-beda setiap acara yang akan diadakan. Kadang, aku menjadi bidang konsumsi, publikasi, dekorasi, logistic, acara atau bahkan OC. Tapi banyak hikmah yang bisa diambil, kita bisa merasakan tiap bidangnya, dan ketika itulah kreatifitas dan pengalaman berharga hadir. Dari dulu memang aku belum pernah membuat publikasi acara, atau sekedar membuat flash untuk ditampilkan. Tapi karna dakwah menuntut. Akupun mempelajarinya. Meskipun masih jauh dari kesempurnaan (karna kesempurnaan hanya milik Allah ).

Disaat hari sabtu adalah hari libur kuliah, aku harus datang pagi-pagi ke kampus untuk mempersiapkan acara yang akan digelar oleh organisasi yang aku ikuti. Belum lagi ada rapat setiap minggu 3 kali (untuk mengontrol sejauh mana dakwah dan amanah yang dijalankan). “Tapi, meskipun dakwah menuntut apapun dari kita, jangan sampai kewajiban yang lain kita lalaikan. Mencari ilmu, berbakti kepada orang tua, mengerjakan tugas-tugas kuliah dengan baik, itu semua kewajiban yang mesti kita penuhi”. Inilah yang sering aku dengar. 

“Jangan pernah membayangkan bahwa kesenangan yang akan didapatkan ketika berdakwah. Akan banyak rintangan. Baik dari luar maupun dari diri kita sendiri. dalam dakwah butuh pengorbanan.”

Tak  bisa dipungkiri kadang merasa capek, panat hingga putus asapun menyapa. Namun, aku merasa malu, malu kepada Allah, malu pada diriku sendiri yang sudah berkomitmen untuk berada dijalan dakwah ini. apakah aku sudah benar-benar mengupayakan seluruh kemampuanku dijalan dakwah ini sehingga aku merasa lelah? Apakah aku sudah benar-benar berkorban untuk “cinta” ini, untuk memenangkan agama islam? Apakah aku sudah benar-benar…………..? Ah, rasanya belum. Masih ada amanah-amanah yang belum aku emban dengan baik, masih banyak orang-orang yang belum aku ajak untuk berjuang bersama. Masih banyak waktu yang kupergunakan bukan untuk dakwah, masih banyak……. Ya, masih banyak. 

Aku bersyukur, dijalan “cinta” ini, aku menemukan cinta. Cinta dari sahabat-sahabat, yang selalu mengingatkan ketika salah, dan memapah ketika jatuh. Uhibbukunna fiillah J. Memang setiap orang berbeda karakter,itu unik dan membuatku belajar mengenali mereka sebagai jalan untuk memahami orang-orang yang aku temui.  Tapi meskipun begitu, ada satu ikatan yang mengikat kuat kami semua, ikatan aqidah.  
Semoga lelah ini menjadi saksi di akhirat nanti, agar aku dapat digolongkan orang-orang yang menolong agamaNya, sehingga surge tak dapat menolak untuk aku masuk kedalamnya. Aamiin. 

#salamperjuangan

Catatan cinta ini kutulis agar menjadi cerminan bagiku untuk tahun-tahun yang akan datang

Senin, 14 Desember 2015

Tamparan



                       
Sore ini, aku mendapatkan tamparan yang membuatku sadar. Bagiku, itu adalah tamparan keras, memang, hanya ‘tamparanlah’ yang akan membuat kita sadar dari apa yang kita pikirkan, bukan dengan nasehat atau kata-kata bijak. 

“kamu mau masuk kelas?” Tanya temanku ketika kaki ini mulai melangkah keluar. Sepertinya ia agak kecewa jika aku masuk kelas sore ini. Karna beberapa menit yang lalu, kami memang sepakat tidak akan masuk kelas :P

“enggak” jawabku

“eh, tapi gak apa-apa ketang  kalo mau masuk juga, nanti tolong ambilin soal UAS di Pak Faris yaa..”

“enggak, gak akan masuk” ucapku meyakinkan. Memang, sore ini dosen belum tentu masuk. “udah muak dengan kelas”, lanjutku lagi.

Temanku itu masih ada dibalik pintu dengan hanya melongokan kepalanya saja keluar. “Subhanallah, selamat..!!” serunya sambil tertawa kecil penuh arti.

Selamat?! Pikirku. “selamat? Kenapa selamat?” 

“iya, selamat, anda tidak mau menjadi pembelajar seumur hidup”

PLAK..!! itulah yang kusebut tamparan. “astaghfirullah” ucapku tak henti sampai ketika aku menulis tulisan ini. 

Akhir-akhir ini memang aku kehilangan semangat untuk masuk kelas, karna hawa nafsuku sendiri. Maka sudah 2 hari aku tidak masuk kelas. Aku sendiri tahu, menuntut ilmu itu wajib. 

anda tidak mau menjadi pembelajar seumur hidu. Ya, jika aku sudah muak dengan kelas, maka aku sudah tidak mau menjadi pembelajar seumur hidup. Aku tersadar dengan kata-kata yang dilontarkan oleh temanku itu, dan aku bersyukur Allah telah mengngatkanku lewat ucapan temanku sendiri. 

Memang, belajar bisa dilakukan dimanapun, tidak harus di ruang kelas dan ditemani dosen atau guru, ilmu juga bisa didapatkan dari mana saja. Bahkan, saat ini hanya tinggal kemauan dan kesungguhan saja dalam mencari ilmu karna kecanggihan teknologi sudah memfasilitasinya. 

Namun, aku juga tidak boleh meninggalkan kelas, terlebih kuliah (baca: menuntut ilmu) bukan hanya sebuah kewajiban, tapi juga amanah dari kedua orang tua. Selain itu, dosen-dosen yang mengajarnyapun dosen-dosen yang luar biasa dari segi keilmuannya.  Maka nikmat apalagi yang aku dustakan?

Akibat tamparan itu jadi ingat mahfudzhat  yang pernah aku dapatkan ketika belajar di Kampung Kemenangan:
مَنْ لَمْ يَذُقْ ذُلَّ التَعَلُّمِ سَاعَةً
تَجَرَّعَ ذُلَّ الجَهْلِ طُوْلَ حَيَاتِه


وَمَنْ فَاتَهُ التَعْلِيْمُ وَقْتَ شَبَابِهِ
فَكَبِّرْ عَلَيْهِ أَرْبَعًا لِوَفَاتِهِ

حَيَاةُ الفَتَى وَاللهِ بِالعِلْمِ وَالتُقَى
إِذَا لَمْ يَكُوْنَا لاَ اعْتِبَارَ لِذَاتِهِ

Barang siapa yang tidak pernah merasakan susahnya belajar
Maka ia akan merasakan susahnya menjadi orang bodoh sepanjang hidupnya.

Barang siapa yang tidak pernah merasakan susahnya belajar hingga ia dewasa,
Maka bertakbirlah empat kali atas kewafatannya.

Sungguh betapa hidup seseorang itu hendaklah dengan ilmu dan taqwa
Dan jika tanpa keduanya maka hidup seseorang itu tiada arti.

Alhamdulillah, aku bersyukur telah ditamparNya lewat perkataan temanku, ya, terima kasih juga teman :)


Senin, 14 Desember 2015